Jumat, 15 Januari 2016

Masalah Perkotaan

        Perkotaan di Indonesia, tak lagi terbatas sebagai pusat pemukiman masyarakat. Kini kota juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan,sentral hirarki, dan pusat pertumbuhan ekonomi. Sebagai konsekuensi logis dari peran kota sebagai pusat pertumbuhan dan ekonomi, sumbangan perkotaan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, semakin meningkat. Data menunjukkan, terdapat peningkatan peranan perkotaan terhadap pertumbuhan nasional yang cukup signifikan. Pada awal Pelita I, peranan kota terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tercatat 50%, namun pada Pelita V, peranan kota terhadap pertumbuhan telah mencapai 70% (National Urban Development Strategy, 2001). Pertumbuhan tersebut membawa dampak yang besar bagi kota itu sendiri. Dari sisi penduduk misalnya, terdapat pertumbuhan jumlah penduduk yang besar dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990, jumlah penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 31,1%, sementara pada 1995 mencapai 35,9% dari jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan proyeksi National Urban Development Strategy, jumlah penduduk perkotaan pada tahun 2003 mencapai 55,3% dari penduduk Indonesia. Di lain pihak, penduduk pedesaan pada 1990,mencapai 68,9% pada 1995 mencapai 64,4% dan pada 2003 penduduk pedesaan mencapai kurang dari 45% dari jumlah penduduk Indonesia.
        

        Penambahan komposisi kependudukan perkotaan memang tak terelakkan. Pada kenyataannya negara-negara dengan tingkat perekonomian yang tinggi, memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi pula. Negara-negara industri pada umumnya memiliki tingkat urbanisasi di atas 75 persen. Bandingkan dengan negara berkembang yang sekarang ini. Tingkat urbanisasinya masih sekitar 35 persen sampai dengan 40 persen saja. (Prijono Tjiptoherijanto, Urbanisasi dan Perkotaan, Artikel kompas 2000). Tentu juga pertumbuhan penduduk yang demikian pesat tersebut membawa konsekuensi yang besar bagi perkotaan. Penambahan jumlah penduduk di tengah semakin terbatasnya ruang publik, menjadikan kota semakin lama semakin kehilangan fungsi sebagai sarana pemukiman yang nyaman. Krisis perekonomian yang melanda Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, menjadikan kota harus menanggung beban tambahan yang cukup serius. Arus urbanisasi yang semakin meningkat dari desa ke kota, ditambah dengan meningkatnya jumlah pengangguran dari 3 juta pada September 1998, menjadi 26 juta pada Januari 1999 (NUDS 2, 2000) menjadikan permasalahan kota menjadi semakin kompleks. Sebagai dampak pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut, beberapa prinsip perencanaan perkotaan seperti liveability, kenyamanan kota yang dinilai akan mendorong warganya berproduktivitas tinggi, kompetitif, kebersaingan untuk mengundang investor menjadi sulit untuk tercapai.


        Permasalahan penduduk di perkotaan mengakar dan membuat masalah masalah baru, diantaranya adalah:


1. Bangunan Liar 
    Daya tarik ibu kota atau perkotaan membuat warga warga desa berdatangan untuk mencari peruntungan di kota. Mereka memiliki mindset bahwa di perkotaan mereka dapat mendapatkan pekerjaan, apapun itu. Kenyataannya setelah sampai dikota, banyak dari mereka yang tidak tahu harus tinggal dimana sedangkan perkerjaan ternyata susah didapat. Mau tidak mau banyak orang-orang desa ini yang terpaksa mendirikan bangunan liar di pinggiran jalan, sungai, dibawah flyover disudut-sudut perkotaan. Tentu ini menjadi permasalahan yang rumit, saat mereka sudah menetap lama disana, dan pihak pemerintah juga tidak ambil tindakan yang cepat untuk penggusuran, alhasil bangunan yang awalnya hanya triplek dan kayu berubah menjadi semenan batu bata semi permanen. Tentu ini membuat kewalahan para pemerintah andaikan mereka menggusur dan menormalisasi pemukiman pemukiman yang dihuni diatas tanah negara. Akibatnya adu cekcok, saling mempertahankan pendiriannya satu sama lain memicu konflik dan pertengkaran.


2. Kriminalitas Yang Tinggi
    Kepadatan penduduk di perkotaan memaksa tiap-tiap orang saling berebut, berusaha, berjuang untuk dapat bekerja dan membiaya diri sendiri dan keluarganya. Banyak dari mereka yang hanya bermodalkan nekad ke kota untuk bekerja namun apa daya jika pendidikan dan keterampilannya rendah,  bermimipi mendapatkan pekerjaan dikota , hidup layak, hanya sebatas angan belaka. Alhasil keadaan sepertii inilah yang memaksa mereka untuk melakukan apa saja agar mendapatkan uang, salah satunya menjambret, mencopet, merampok dengan memaksa, bahkan membunuh demi mendapatkan sesuatu yang namanya disebut dengan uang. Karna memang hanya dengan uang kita dapat membeli apa saja yang kita mau. Kriminalitas yang tinggi diperkotaan tentu membuat keadaan perkotaan menjadi tidak kondusif, selalu di bayangi rasa was was.


3. Menjamurnya Pengemis
    Permasalahan berikut juga masih tersambung dengan permasalahan diatas. Tidak dapatnya lapangan perkerjaan banyak mereka yang masih mempunyai hati nurani tidak berani untuk melakukan tindak kejahatan, akhirnya yang diambil adalah jalan kelicikan yaitu dengan pura-pura pincang, buta dsb demi terlihat tak berdaya sehingga banyak orang mengasiihi dan memberikannya uang. Pekerjaan yang benar benar santai, hanya menunggu dan duit datang sendiri. Begitu peliknya perkotaan.


4. Kemacetan
    Masalah yang satu ini jika tidak terjadi di daerah perkotaan, bukan kota namanya. Kemacetan adalah masalah yang selalu diupayakan oleh pemerintah khususnya di jakarta. Gimana tidak macet, jika semua orang bekerja di jakarta. Sepeda motor, mobil, belum ditambah angkutan-angkutan yang buta rambu-rambu, ini menyebabkan kemacetan yang sangan sangat parah. Belum ditambah jika banjir melanda maka kemacetan menjadi semakin parah.


5. Pendapatan Antarpenduduk Perkotaan
    Perbedaan tingkat kemampuan, pendidikan dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi menjadikan persoalan perbedaan pendapatan antarpenduduk di perkotaan semakin besar. Di satu pihak, sebagian kecil dari penduduk perkotaan menguasai sebagian besar sumber perekonomian. Sementara di sisi lain, sebagian besar penduduk justru hanya mendapatkan sebagian kecil sumber perekonomian. Akibatnya, terdapat kesenjangan pendapatan yang semakin lama semakin besar. Sebagai bagian dari mekanisme pasar, kondisi ini sebenarnya sah-sah saja dan sangat wajar terjadi. Persoalannya, ternyata dan praktiknya disparitas pendapatan ini menimbulkan persoalan sosial yang tidak ringan. Terjadinya kecemburuan sosial yang bermuara pada kerusuhan massal, kerap terjadi karena persoalan ini. Dalam skala yang lebih kecil, meningkatnya kriminalitas di perkotaan, merupakan implikasi tidak meratanya kemampuan dan kesempatan untuk menikmati pertumbuhan perekonomian di perkotaan.

6. Meningkatnya Sektor Informal   

    Kesenjangan antara kemampuan menyediakan sarana penghidupan dengan permintaan terhadap lapangan kerja, memacu tumbuhnya sektor informal perkotaan. Pada saat krisis ekonomi terjadi jumlah penduduk perkotaan yang bekerja di sektor informal ini semakin besar. Di satu sisi tumbuhnya sektor informal ini merupakan katup pengaman bagi krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Bangsa Indonesia. Namun, pada gilirannya peningkatan aktivitas sektor informal, terutama yang berada di perkotaan dan menyita sebagian ruang publik perkotaan, menimbulkan masalah baru terutama menyangkut aspek kenyamanan dan ketertiban yang juga menjadi hak publik bagi warga perkotaan yang lain.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar